IDENTIFIKASI DAN ASESMEN ANAK AUTIS & LAYANAN PENDIDIKANNYA Oleh: H idayat dan Musjafak Assjari

1
IDENTIFIKASI DAN ASESMEN ANAK AUTIS & LAYANAN PENDIDIKANNYA Oleh: H idayat dan Musjafak Assjari
A. Pendahuluan
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Mengingat kalau kita perhatikan, maka kita akan mendapat kesan bahwa penyandang autis itu seolah-olah hidup di dunianya sendiri. Istilah autisme ini baru diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner. Pada saat itu jumlahnya masih sedikit dan mereka mempunyai karakteristik yang khas. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini masalah autis meningkat sangat pesat di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Jika pada tahun 90-an jumlah anak penyandang autis adalah 15 - 20 per 10.000 anak, maka tahun 2000 diperkirakan ada 1 per 150 anak penyandang autis (Amerika Serikat). Berdasarkan penelitian seorang Psikiater di Jakarta selama tahun 2000 tercatat jumlah pasien baru autis sebanyak 103 kasus di RSCM dibandingkan dengan 6 bulan terakhir tahun 1998 yang hanya ditemukan 1 kasus baru. Sejak sekitar tahun 1977 masalah autis mulai dikenal oleh sebagian masyarakat Indonesia. Ini terlihat dengan banyak beredarnya informasi mengenai autisme, dibukanya pusat-pusat terapi, terbentuknya yayasan-yayasan yang peduli dan menangani individu autis, sampai semianr-seminar nasionl yang membicarakan masalah ini dengan pakar-pakar dari dalam dan luar negeri. Penanganan terhadap permasalahan anak autis semakin dapat diberikan secara terpadu dan terarah. Intervensi yang dulu dianggap „mustahil‟, kini sudah dapat dilakukan sendiri oleh orang tua sejak usia sangat dini. Perubahan ini memberikan dampak sangat positif bagi perkembangan anak, sehingga mereka dapat dipandu untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Dengan tetap memperhatikan aspek “individual differences” dimana setiap anak dianggap sebagai individu yang unik dan spesifik, maka seharusnya semua individu autis diberikan kesempatan seawal mungkin untuk mencoba belajar di sekolah umum. Apalagi UUD 1945 pasal
2
31 mengatakan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pengajaran” dan the Salamanca Statement pada tahun 1994 (UNESCO) tentang pendidikan inklusif, dinyatakan bahwa setiap anak termasuk yang memerlukan pendidikan khusus sementara dan permanen mempunyai hak untuk mengikuti proses belajar di sekolah umum. Sekolah umum di sini adalah berbagai lembaga formal (Kelompok Bermain, TK, Sekolah Dasar, dst) yang menggunakan kurikulum DEPDIKNAS. Meskipun sudah banyak terjadi perubahan, tampakya proses belajar mengajar anak di sekolah masih belum berjalan seperti yang diharapkan. Fakta yang diperoleh di lapangan menunjukkan kesenjangan antara apa yang dibutuhkan individu autis dan apa yang disediakan oleh guru, artinya proses pembelajarannya masih belum sesuai dengan kebutuhan siswa autis. Apabila pada tahun 1998 seorang anak berusia 3 tahun didiagnosa sebagai penyandang autis, kemudian ia mendapat layanan pendidikan yang terstruktur dan terpadu, maka ketika usianya 6 tahun orang tuanya akan berpikir bahwa sudah waktunya anak tersebut dicoba untuk belajar ke sekolah umum/reguler. Dengan terus meningkatnya jumlah penyandang autis, bisa dibayangkan pada tahun-tahun mendatang berapa banyak anak-anak usia sekolah seperti ini akan menyerbu masuk ke sekolah-sekolah reguler. Memasukkan anak berlatar belakang autis ke sekolah umum merupakan perjuangan tersendiri bagi orang tua, guru dan anak itu sendiri. Baik dalam mempersiapkan anak untuk bersosialisasi dengan lingkungan anak-anak normal yang jumlahnya cukup banyak di kelasnya, maupun materi pengajaran, metode dan strategi pembelajarannya. Di sinilah peran sekolah reguler sebagai tempat pendidikan formal dalam membantu anak autis, melalui kesiapan SDM, pengelolaan materi pengajaran serta pengetahuan yang cukup mengenai latar belakang dan tatacara penanganan anak autis perlu disiapkan secara matang. Dengan persiapan, dukungan dan kerjasama antara para guru, pihak sekolah dan orang tua, mudah-mudahan perjuangan anak ini tidak sia-sia. Sehingga ia mempunyai kesempatan mengembangkan potensinya serta menjadi manusia mandiri dan berguna di masyarakat.
B. Identifikasi Anak Autis
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, kognisi, dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan pada autisme infatil gejala sudah ada sejak lahir. Seseorang baru dapat dikatakan termasuk kategori Autisme, bila ia memiliki hambatan perkembangan dalam tiga aspek yakni
3
kualitas kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan komunikasi timbal balik, minat yang terbatas disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan. Gejala tersebut harus sudah terlihat sebelum usia 3 tahun. Mengingat bahwa tiga aspek gangguan perkembangan di atas terwujud dalam berbagai bentuk yang berbeda, maka dapat disimpulkan bahwa autisme sesungngguhnya adalah sekumpulan gejala klinis yang dilatarbelakangi berbagai faktor yang sangat bervariasi, bekaitan satu sama lain dan unik karena tidak sama untuk masing-masig kasus. Oleh karena itu pula, secara klinis, sering ditemukan gejala yang bercampur baur atau bertumpang tindih dengan gejala-gejala dari beberapa gangguan perkembangan yang lain. Tingkatan manifestasi gangguan juga sangat lebar, antara yang berat hingga yang ringan, kasusnya. Di satu sisi terdapat individu yang memiliki semua gejala dan di sisi lain adalah individu yang memiliki sedikit gejala. Perbedaan manifestasi gangguan-gangguan tersebut menjadikan setiap individu sangat unik. Mengingat tidak ada dua individu autis yang sama persis, bahkan yang kembar sekalipun. Itu sebabnya, sangat ditekankan, agar orang tua dan guru tidak memberikan layanan pendidikan yang seragam atau klasikal bagi sekelompok anak.
1. Karakteristik
Adapun karakteristik (ciri khas} yang tampak pada perilaku anak autis adalah:
a. Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara, tetapi kemudian sirna
b. Anak tidak dapat mengikuti jalan pikiran orang lain kadang-kadang anak berperilaku
c. yang menyakiti diri sendiri
d. Anak tidak mempunyai empati dan tidak tahu apa reaksi orang lain atas perbuatannya
e. Pemahaman anak sangat kurang, sehingga apa yang ia baca sukar dipahami. Misalnya dalam bercerita kembali dan soal berhitung yang menggunakan kalimat
f. Kadangkala anak mempunyai daya ingat yang sangat kuat, seperti perkalian, kalender dan lagu-lagu
g. Dalam belajar mereka lebih mudah memahami lewat gambar-gambar (visual learners)
h. Anak belum dapat bersosialisasi dengan teman sekelasnya, seperti sukar bekerja sama dalam kelompok anak sebayanya, bermain peran dan sebagainya.
i. Kesulitan mengekspresikan perasaannya, seperti: suka marah, mudah frustrasi bila tidak dimengerti dan dapat menimbulkan tantrum (ekspresi emosi dalam bentuk fisik atau marah yang tidak terkendali).
4
j. Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata ke pesawat TV.
Pada dasarnya tidak semua gejala tersebut ada pada individu autis. Gejalanya dapat beranekaragam sehingga tampak bahwa tidak ada anak autis yang benar-benar sama dalam semua tingkah lakunya. Sedangkan perbandingan laki-laki : perempuan adalah sekitar 4 : 1, dan terdapat pada semua lapisan masyarakat, etnik/ras, tingkat sosio-ekonomi serta geografi. Jika seorang anak memperlihatkan beberapa gejala di atas segera hubungi psikolog klinis/perkembangan, dokter ahli perkembangan anak, psikiater anak atau neuropediatris, pedagog khusus anak autis dan gangguan perkembangan yang akan membuat suatu assessment/pengkajian yang diikuti dengan pelaksanaan diagnosa. Jika terdiagnosa dini, maka anak autis dapat ditangani segera melalui proses pembelajaran yang terstruktur dan terpadu. Dengan demikian lebih terbuka peluang perubahan ke arah perilaku normal. 2. Gambaran yang khas (unik) dari Anak Autis
Anak atau individu autis mempunyai gambaran unik tersendiri. Karakteristik tersebut meliputi kecenderungan: (1) Selektif berlebihan terhadap rangsangan (stimulation of overselectivity): yaitu kemampuan terbatas dalam menangkap isyarat yang berasal dari lingkungan. (2) Kurangnya motivasi: tidak hanya karena mereka sering menarik diri dan asyik dengan dunianya sendiri, mereka juga cenderung tidak termotivasi untuk menjelajahi lingkungan baru, untuk memperluas lingkup perhatian mereka. (3) Respons stimulatori diri: Jika diberi kesempatan, banyak penyandang autis yang menghabiskan sebagian waktu bangun/terjaganya pada aktivitas non produktif tersebut. Perilaku tersebut selain mengganggu integrasi sosial, juga mengganggu proses belajar. Oleh sebab itu, menurunkan perilaku stimulasi diri dan menggantikannya dengan respons yang lebih produktif sering merupakan prioritas tujuan pendidikan bagi penyandang autis. (4) respons unik terhadap imbalan (reinforcement) dan konsekuensi lainnya: Ini merupakan karakteristik dari individu autis, sehingga imbalan amat individualistik, kadang juga sukar diidentifikasi. Anak autis belajar paling efektif pada kondisi imbalan langsung. Supaya memperoleh imbalan langsung, seorang anak harus secara benar berespons pada suatu rangkaian perilaku. Sebagai contoh, jika anak sedang diajar membedakan warna, dengan membuka tutup dari kotak warna yang berisi makanan kesukaannya. Imbalan
5
yang tak langsung, yaitu jika guru memberi perintah untuk membuka kotak berwarna tertentu kemudian memberikan anak imbalan makanan. Imbalan langsung juga merupakan dasar dari terjadinya stimulasi-diri (self-stimulatory), yaitu didapatnya imbalan dari penginderaan (sensori) terhadap stimulasi-diri tersebut. Misalnya umpan balik visual mulai dari memperhatikan gerakan tangannya, umpan balik gerakan dan suara yang berhubungan dengan hentakan/ketukan yang berulang-ulang. Intervensi meliputi mengidentifikasi dan menghilangkan imbalan penginderaan. Ada tiga alasan mengapa intervensi dini sangat penting, karena untuk mengoptimalkan tingkat perkembangan anak, untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada keluarga, dan untuk memaksimalkan manfaat anak dan keluarga terhadap masyarakat sekitar. Adapun tingkat kemampuan belajar dan perkembangan manusia adalah paling cepat pada tahun-tahun pra sekolah. Sampai dengan usia 3 tahun, masa yang paling pesat pada tingkat perkembangan otak anak, setelah itu sampai usia 5 tahun tingkat perkembangan otak anak menurun walaupun masih cukup tinggi, di atas usia 5 tahun sampai dengan usia 7 tahun perkembangan sangat jauh menurun, hingga setelah 7 tahun tingkat perkembangan otak relatif lambat.
3. Gambaran Perilaku Autistik
Perilaku adalah segala sesuatu yang orang kerjakan atau katakan, jadi perilaku adalah apa saja yang kita dapat lihat, rasakan atau dengar ketika seseorang melakukan kegiatan tertentu dan juga apa yang kita sendiri katakan dan kerjakan. Banyak perilaku autistik yang berbeda daripada perilaku normal, perbedaannya yaitu adanya perilaku yang berkelebihan (excessive), dan atau adanya perilaku yang berkekurangan (deficient) yang mungkin sampai pada tingkat yang hampir tidak ada.
Behavioral excesse (Perilaku yang berkelebihan) misalnya mengamuk (tantrum) dan perilaku stimulasi diri. Jika intensitas dan frekuensi perilaku yang berlebihan itu muncul, maka perilaku-perilaku tersebut merupakan masalah di rumah, dan mengganggu ketika orang tua membawa anak ke tempat-tempat umum. Mengamuk (tantrum), sebagai contoh, mungkin terjadi bahkan jika kemauan kecil tidak dituruti pada beberapa anak. Meminta/menyuruh mereka berjalan dengan tenang di Supermarket, duduk di restoran, atau berdiri di barisan pada loket penjualan karcis mungkin menghasilkan jeritan, tendangan, gigitan dan cakaran. Pada kasus-
6
kasus yang lebih ekstrim, tantrum mungkin terjadi menjadi sedemikian hebat sehingga perilaku-perilaku tersebut juga mengganggu proses belajar. Ekstrim lain dari perilaku yang berlebihan seperti yang digambarkan di atas, yaitu anak-anak autis mungkin menunjukkan berbagai kekurangan perilaku (behavioral deficit), seperti gambaran perilaku berikut ini: (1) Ciri umum mereka adalah gangguan bicara. Mereka mungkin non verbal, atau mungkin sedikit suara dan kata-kata. Anak-anak autistik lain mungkin ekolali (membeo) dan mengulang kata-kata yang mereka telah dengar (segera atau setelah beberapa waktu), tetapi mereka tidak menggunakan kata-kata tersebut untuk berkomunikasi. Sebagai contoh, pada ekolali segera, jika ditanya “Nama kamu siapa?” anak mungkin berespons dengan mengatakan “Nama kamu siapa?” bukannya memberikan jawaban yang benar. Pada ekolali lambat, seorang anak duduk pada meja makan mungkin mengulangi perintah-perintah gurunya kata per kata pada waktu sebelumnya di sekolah. (2) Anak mungkin kurang sesuai perilaku sosialnya. Mereka mungkin bereaksi terhadap orang seakan mereka adalah benda. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memanjat ke pangkuan ibu, tidak untuk kasih sayang tetapi supaya dapat meraih kaleng kue. (3) Anak mungkin menunjukkan defisit sensasi (indera) yang nyata sehingga kadang disangka tuli. Anak kadang berespons sedemikian normalnya, tetapi tidak sama sekali pada yang lainnya, pada pemeriksaan pendengaran tidak ditemukan gangguan. (4) Anak sering tidak bermain dengan benar. Sebagai contoh, bukannya mengendarai truk mainan tetapi membalikannya dan memutar roda berjam-jam. (5) Anak sering menunjukkan emosi yang tidak sesuai. Beberapa menjerit atau tertawa dengan sedikit atau tanpa provokasi. Lainnya hampir tidak menunjukkan perilaku emosional. Sebagai contoh, seorang anak mungkin hanya duduk dan memandang ke ruang kosong jika seseorang mencoba menggelitiknya. Dengan mengetahui perilaku ekses dan defisitnya, maka proses pembelajaran anak autisme melalui tatalaksana perilaku dengan tujuan memperbaiki perilaku ekses (berlebihan) dan perilaku deficit (kurang berperilaku) tersebut sangat mendesak untuk segera direalisasikan.
7
C. Asesmen Anak Autis Asesmen adalah proses yang sistimatis dalam mengumpulkan data seorang anak. Dalam kontek pendidikan asesmen berfungsi untuk melihat kemampuan dan kesulitan yang dihadapi seseorang saat itu, sebagai bahan untuk menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan. Berdasarkan informasi itulah seorang guru akan dapat menyusun program pembelajaran yang bersifat realistis sesuai dengan kenyataan obyektif dari anak tersebut. Sebagai contoh; dari hasil asesmen diperoleh informasi bahwa anak itu mengalami kesulitan dalam hal bicara, dan bukan kepada pelabelan bahwa anak itu Autis. Selanjutnya instrumen asesmen disusun untuk menemukan hal-hal yang sangat spesifik berkaitan dengan masalah bicara tadi dan bukan untuk menemukan syndroma global atau pelabelan. Dengan demikian program pendidikan didasaarkan kepada kebutuhan, dan bukan pada kecatatan seorang anak. Di lapangan asesmen dan evaluasi sering menjadi samar dan digunakan secara tidak tepat. Evaluasi dan asesmen memang memiliki kemiripan, namun keduanya sangat berbeda. Dilihat dari pelaksanaannya; evaluasi dilakukan diakhir proses belajar atau di saat proses belajar berlangsung, sementara tindakan asesmen bukan hanya dilakukan diakhir dan disaat proses belajar berlangsung, tetapi jauh sebelum proses belajar itu terjadi, asesmen telah dilakukan dan proses ini akan terus bergulir tanpa henti. Dilihat dari kontennya (instrumen); evaluasi diambil dari materi yang diberikan, sementara asesmen didasarkan kepada masalah dan kemampuan yang dimiliki anak Dilihat dari tujuan; evaluasi semata-,mata hanya untuk mengukur seberapa jauh materi itu dapat diserap atau dikuasai, sementara asesmen untuk melihat kondisi anak saat itu dalam rangka menyusun suatu program pembelajaran sehingga dapat melakukan intervensi secara tepat. Tes, diagnosis, evaluasi dan asesmen satu sama lain saling berhubungan, tetapi keempatnya mempunyai makna yang berbeda. Dalam hubungannya dengan pengembang-an program pembelajaran individual (PPI), asesmen menjadi sangat sentral disbanding-kan dengan tes, diagnostik dan evaluasi, sebab berdasarkan hasil asesmen itulah program pembelajaran individual (PPI) dapat disusun dan dikembangkan. Namun demikian tes, diagnostik dan evaluasi tetap penting untuk mengetahui keberadaan anak, tetapi bukan untuk kepentingan dalam penyusunan program.
Tujuan utama asesmen pada prinsipnya adalah untuk menentukan bagaimana kedaan anak Autistik saat ini. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi anak Autistik pada saat
8
ini perlu dilakukan modifikasi asesmen, sehingga program pembelajaran yang disusun cocok dengan keadaan dan kebutuhan setiap anak.
1. Hal-hal penting yang harus dipertimbangkan dalam asesmen
Berkenaan dengan hal itu Mary A. Falvey (1986) mengemukakan 3 hal penting yang perlu dipertimbangkan di dalam melakukan asesmen:
a. Kapan asesmen dilakukan ?
b. Untuk menentukan program pembelajaran yang relevan dan fungsional bagi anak, asesmen seyogianya dilakukan secara terus menerus (kontinu) Dengan cara itu asesmen dapat memfasilitasi belajar anak dan keterampilan yang diperoleh dari hasil belajar menjadi fungsional.
c. Dimana asesmen dilakukan ?
d. Untuk melihat bagaimana perilaku anak, asesmen hendaknya dilakukan dalam situasi alamiah (seperti; di rumah, di dalam kelas, di halaman sekolah, di dalam atau di luar kantin, di asrama, dsb). Proses asesmen pada situasi alamiah ini penting untuk melihat perilaku nyata anak dalam berbagai ragam situasi lingkungan.
e. Bagaimana asesmen dilakukan ?
f. Metode dan teknik harus mejadi pertimbangan di dalam melakukan asesmen. Berbagai metode dan teknik hendaknya digunakan secara kombinasi dan tidak terpisah-pisah. Mary A. Falvey (1986) mengemukakan dua hal penting dalam melakukan asesmen yaitu sbb:
1) Asesmen Perkembangan (developmental assessment)
Asesmen ini digunakan untuk melihat urutan dan tahap perkembangan anak yang dapat membantu guru dalam memahami tingkat dan kemampuan anak (contoh asesmen perkembangan dapat dilihat pada halaman 100)
2) Teknik Observasi (observation prosedure)
Tujuan utama observasi adalah untuk melihat kemampuan dan keterampilan anak dalam situasi lingkungan yang alamiah. Perilaku itu muncul tanpa ada intervensi dan manipulasi dari guru. Data yang dikumpulkan dari kegiatan observasi mungkin berkaitan erat dengan manusia (orang), material atau benda, dan berbagai situasi yang berhubungan dengan anak.
9
2. Ruang Lingkup Asesmen
Dalam pendidikan anak Autis sekurang-kurangnya terdapat empat bidang yang memerlukan tindakan asesmen yaitu: bidang akademik (seperti; membaca, menulis dan berhitung (aritmatika), bidan sensorimotor, bidang menolong diri dan bidang perilaku (adaptive) serta emosi. Keempat bidang ini bagi anak Autis merupakan dasar dalam kehidupan mereka sehari-hari untuk kelak dapat hidup secara mandiri. Disamping itu keempat bidang tadi merupakan hambatan atau kesulitan yang sering dihadapi mereka. Berkenaan dengan pengembangan program pembelajaran individual (PPI). Keempat bidang tadi menjadi obyek pokok dalam dunia pendidikan anak-anak Autis. D. Jalur pendidikan umum/reguler (mainstream) Maksud kata ‘mainstream’ berarti melibatkan seorang anak dengan kebutuhan khusus ke dalam kelas-kelas umum. Penanganan anak sungguh-sungguh dilakukan dengan memperhatikan pada kebutuhan khusus yang ada pada anak. Tujuan orang tua memasukkan anak ke jalur pendidikan reguler bisa untuk „academic mainstream‟ (agar anak sepenuhnya bisa mengikuti kegiatan akademis) atau soscial mainstream (agar anak dapat mengikuti kegiatan sosialisasi bersama teman sebayanya). Di Indonesia (khususnya di Bandung) belum tersedia berbagai fasilitas pendidikan khusus bagi anak autis usia sekolah, kecuali sekolah umum. Itu sebabnya orang tua berbondong-bondong memasukkan putra/putrinya ke sekolah umum yang bersedia memberikan kesempatan untuk menampung individu autis. Timbul masalah baru, dimana para guru lalu merasa kewalahan dalam menangani anak-anak ini karena tidak cukup hanya memberikan kesempatan. Bagaimanapun, tanpa membekali para guru dengan keterampilan menangani anak-anak ini, usaha mereka memberikan kesempatan bagi anak autis di sekolah umum akan terasa lebih sebagai beban, daripada jalan keluar. Guru perlu dibantu untuk memahami, apa saja masalah yang dihadapi oleh anak-anak ini. 1. Masalah Anak Autis di Sekolah a. Perilaku
Adanya perilaku stereotip/khas pada anak autis sering kali membuat para guru dan anak lain di kelas bingung. Perilaku tersebut sangat tidak wajar dan cenderung mengalihkan
10
perhatian. Selain masalah perilaku yang lebih berupa dorongan dari perkembangan neurobiologis, sering masalah perilaku merupakan manifestasi dari frustrasi anak (sulit memahami materi belajar, sulit berkomunikasi, sulit berinteraksi) atau reaksi anak terhadap stimulasi lingkungan yang tidak dapat mereka prediksi. Keadaan anak yang cenderung „peka secara berlebihan‟ (suara, sentuhan, irama) terhadap stimulus lingkungan juga kerap membuat anak berperilaku kurang menyenangkan. b. Pemahaman Gangguan proses informasi dan koneksi, mau tidak mau seringkali menghambat anak autis mengikuti pelajaran di sekolah umum. Mereka lebih berespons terhadap stimulus visual, sehingga instruksi dan uraian verbal (apalagi yang panjang dalam bahasa rumit) akan sulit mereka pahami. Kecenderungan „mono‟ pada diri mereka tidak memungkinkan mereka mengerjakan 2-3 hal sekaligus pada satu waktu yang sama (menatap sambil mendengarkan, mendengarkan sambil menulis, dan sebagainya.) Gaya berpikir mereka yang visual dalam bentuk film/gambar, membuat reaksi mereka lebih lambat daripada anak lain, dimana mereka memerluian jeda waktu sedikit lebih lama sebelum berespons. Mereka mengalami kesulitan memusatkan perhatian, terus menerus terdistraksi, apalagi di kelas yang sarat dengan .30 anak dengan suara yang sangat hiruk pikuk.
c. Komunikasi
Salah satu kesulitanan anak autis adalah dalam hal komunikasi, dimana mereka sulit berekspresi diri. Sebagian besar dari mereka, meskipun dapat berbicara, menggunakan kalimat pendek dengan kosakata yang sederhana. Seringkali mereka bisa mengerti orang lain tapi hanya bila orang tersebut berbicara langsung kepada mereka. Itu sebabnya kadang mereka tampak seakan tidak mendengar, padahal jelas-jelas kita memanggil mereka. Anak autis yang sulit berkata-kata/berbicara, seringkali mengungkapkan diri melalui perilaku. Semakin mereka tidak dipahami, maka mereka semakin frustrasi. Lingkungan yang kurang dapat melihat ciri ini secara obyektif akan memaksakan agar anak-anak tersebut berbicara dalam mengungkapkan diri, sehingga berakibat tekanan pada mereka yang lalu membuat mereka berperilaku negatif.
d. Interaksi
Anak autis juga bermasalah pada perkembangan keterampilan sosialnya, sulit berkomunikasi, tidak mnampu memahami aturan-aturan dalam pergaulan, sehingga biasanya
11
tidak memiliki banyak teman. Minat mereka yang terbatas pada orang lain di sekitarnya, sedikit banyak membuat mereka lebih senang menyendiri atau sangat pemilih dalam bergaul, mereka hanya memiliki 1-2 teman yang dapat memberikan rasa aman kepada mereka, dan pada umumnya mengalami kesulitan beradaptasi dalam berbagai kelompok yang dibentuk secara acak/mendadak. 2. Alternatif Penanganan Dalam upaya memahami dan mengatasi masalah-masalahh anak-anak autis di sekolah, tidak mungkin melihat permasalahan secara terpisah dan terkotak-kotak. Setiap aspek saling berkaitan, dan biasanya saling tumpang tindih menjadi sebab dan atau akibat. Seperti: gangguan perilaku umumnya disebabkan oleh gangguan perkembangan neurologis, tapi bisa juga karena masalah frustrasi dalam berkomunikasi. Gangguan komunikasi, memang adalah masalah gangguan perkembangan neurobiologis, tapi kemudian bisa menjadi alasan bagi si anak untuk enggan bergaul. Sebaliknya, belum tentu juga bila anak sudah sangat terlatih dalam berkomunikasi, ia tidak memiliki masalah pemahaman atau proses informasi. Keterkaitan berbagai aspek tersebut di atas menyebabkan masalah seorang individu autis menjadi sangat kompleks, unik, spesifik, dan sering berubah-ubah. Pendidikan bagi anak autis, idealnya diberikan dalam bentuk sekelompok penanganan untuk membantu mereka mengatasi kebutuhan khususnya. Di Amerika Serikat, banyak bentuk-bentuk pendidikan tersedia, antara lain (Siegel, 1996):
a. Individual therapy, antara lain melalui penanganan di tempat terapi atau di rumah (home-based therapy dan kemudian homeschooling). Intervensi seperti ini merupakan dasar dari pendidikan individu autis. Melalui penanganan one-on-one, anak belajar berbagai konsep dasar dan belajar mengembangkan sikap mengikuti aturan yang ia perlukan untuk berbaur di masyarakat.
b. Designated Autistic Classes. Salah satu bentuk transisi dari penanganan individual ke bentuk kelas klasikal, dimana sekelompok anak yang semuanya autis, belajar bersama-sama mengikuti jenis instruksi yang khas. Anak-anak ini berada dalam kelompok yang kecil (1 - 3 anak), dan biasanya merupakan anak-anak yang masih kecil yang belum mampu imitasi dengan baik.
12
c. Ability Grouped Classes. Anak-anak yang sudah dapat melakukan imitasi, sudah tidak terlalu memerlukan penanganan one-on-one untuk meningkatkan kepatuhan, sudah ada respons terhadap pujian, dan ada minat terhadap alat permainan; memerlukan jenis lingkungan yang menyediakan teman sebaya yang secara sosial lebih baik meski juga memiliki masalah perkembangan bahasa.
d. Social skills Development and mixed Disability Classes. Kelas ini terdiri atas anak dengan kebutuhan khusus, tetapi tidak hanya anak autis. Biasanya anak autis berespons dengan baik bila dikelompokkan dengan anak-anak Down Syndrome yang cenderung memiliki ciri „hyper-social‟ (ketertarikan berlebihan untuk membina hubungan sosial dengan orang lain). Ciri ini membuat mereka cenderung bertahan, memerintah, dan berlari-lari di sekitar anak autis sekedar untuk mendapatkan respons. Hal ini baik sekali bagi si anak autis.
DAFTAR PUSTAKA Eysenck, M.W. 1993. Principles of Cognitive Psychology. New York: Lawrence. Greenspan, I. S. 1988. The Child with Special Needs, Encouraging Intellectual and Emotional Growth. Massachusetts: A Merloyd Lawrence Book. Johnsen, H. Berit & Skjorten, 2001. Education – Special Needs Education An Introduction. Oslo: Unipub forlag. Lovaas, O.I. 1993. Teaching Children through Behavior Management. Boston: Notes from the lecture series. Maurice, C. Green; Luce S.C. 1996. Behavioral Intervention for Young Children with Autism. Texas: Pro-ed., Autism. Siegel B. 1996. The World of the Autistic Child. New York: Oxford University Press. Tender J, Birnbauer J. 1997. Understanding Behavior Basics of Applied Behavior Analysis, Manual. W. Matlin, Margaret, 1994. Cognition. New York: Harcourt Brace Publishers. Waterhouse, Stella, 1993. A Positive Approach to Autism. London: Jessica Kingsley Publisher. Wolfendale, Sheila, 1992. Primary Schools and Special Needs. 2 nd Ed., London: Jessica Kingsley Publisher.

Tinggalkan komentar